Oleh ; Munif Chatib Pernahkah kita sebagai guru atau orangtua terjebak dalam situasi seperti di bawah ini. Dengan tangan gemetar, anak kita memberi secarik kertas hasil ulangan harian matematikanya. Gemetar dan mulai terisak, sebab dapat nilai 5. Bayangkan! Pasti banyak dari kita yang juga gemas dan mungkin ikut menangis melihat hasil kerja anak kita. “ Ya Allah nak …ini tahun udah hampir 2010 matematika dapat 5? Sudah gak musim nak! Kalau kamu begini terus nanti kamu jadi apaaaaa!!! Biasanya adegan selanjutnya adalah anak dengan pasrah terdiam menampung amarah orangtua baik bola salju bergulir. Bahkan tidak sedikit yang berakhir dengan ‘pemukulan’ Saya sendiri heran, kejadian di atas ternyata masih banyak dialami oleh orangtua yang mempunyai background pendidikan yang lumayan tinggi, bahkan S2. Mengapa susah sekali memberi pemahaman kepada para orangtua bahwa kesuksesan dan kecerdasan anak kita sama sekali tidak terkait dengan hasil tes-tes standar. Mengapa tidak terkait? Ada dua al
“(Menuntut) ilmu pada masa kecil ibarat mengukir di atas batu.” (HR. Baihaqi dan Ath-Thabrani dalam Al Ausath) Penanaman ilmu pada masa anak-anak sangatlah penting, karena pada masa itu merupakan fase pembentukan kepribadian dan pembekalan ilmu kehidupan. Pada masa ini anak-anak masih murni dan bersih akal dan hatinya, masih kuat ingatannya, dan masih menyenangkan baginya untuk mempelajari segala sesuatu. Fase ini sangat menentukan, sehingga diibaratkan sebagai “ mengukir di atas batu ”, yang berarti ilmu yang diberikan akan sangat kokoh menancap dalam benak dan sanubari siswa yang selanjutnya akan dia jadikan pondasi dan bekal hidup di kelak dewasa nanti. Sehubungan dengan hal ini, Imam Al Ghazali seperti yang dikutip oleh Langgulung (1985) dalam buku Pendidikan dan Peradaban Islam , pernah menyatakan: “Cara mendidik anak termasuk hal yang paling penting. Kanak-kanak merupakan amanah bagi ibu bapaknya. Hatinya yang suci bersi